Detak Tribe – Di tengah derasnya arus digital dan kebiasaan generasi muda yang kian lekat dengan layar gawai, Roby Irzal Maulana memilih berjalan melawan arus. Ia menulis, mengajar, dan membangun ruang-ruang kecil literasi dengan satu keyakinan, yaitu bangsa yang besar lahir dari budaya membaca dan menulis yang hidup.
Roby Irzal Maulana bukan sekadar penulis. Ia adalah dosen di salah satu perguruan tinggi di Banten, sekaligus pendiri Dialektika Klub, sebuah wadah menulis yang ia dirikan untuk menumbuhkan kembali minat literasi di kalangan mahasiswa.
Sejak 2009, tepat setelah lulus kuliah strata satu, Roby mulai menekuni dunia kepenulisan, dimulai dari media online seperti Medium, Wattpad, hingga Kompasiana, sebelum akhirnya serius menekuni dunia literasi buku.
Roby menegaskan bahwa ketertarikannya menulis hingga berhasil menerbitkan buku berawal dari keresahan atas realitas yang ia temui sehari-hari di ruang kelas, seperti mahasiswa yang minim membaca, enggan menulis, dan lebih akrab dengan konten instan di media sosial.
Menulis sebagai Perlawanan terhadap Budaya Instan
Bagi Roby, tantangan menghidupkan kembali budaya literasi di Indonesia tidaklah ringan. Ia menyebut, ketimpangan akses perpustakaan masih menjadi persoalan serius, terutama di daerah-daerah tertentu. Di sisi lain, ketiadaan teladan membaca di lingkungan keluarga dan pendidikan membuat budaya literasi sulit tumbuh sejak dini.
“Anak-anak sekarang lebih akrab dengan scrolling TikTok atau Instagram berjam-jam. Kemudian ada konten-konten yang brainrot, membuat semakin ketinggalan dalam konteks SDM,” katanya.
Padahal, menurut Roby, membaca dan menulis adalah fondasi utama dalam membangun kualitas sumber daya manusia. Tanpa literasi yang kuat, dampaknya merambah ke ranah sosial, budaya, politik, hingga ekonomi. Ia juga menyoroti perubahan pola ekonomi dan akademik.
Banyak mahasiswa, kata Roby, nyaris tidak pernah membeli buku. Sebagian besar memilih mencari referensi instan melalui mesin pencari atau bahkan mengandalkan kecerdasan buatan. Akibatnya, buku perlahan kehilangan tempatnya di kehidupan generasi muda.
Dialektika Klub: Menumbuhkan Literasi dari Lingkup Terkecil
Berangkat dari kegelisahan itu, Roby mendirikan Dialektika Klub. Meski skalanya masih kecil—anggota aktifnya belum mencapai 10 orang—Roby percaya perubahan besar selalu bermula dari lingkaran yang sempit. Di klub ini, mahasiswa tidak hanya diajak membaca, tetapi juga menulis dan berkarya.
Roby membimbing mereka dari hal paling sederhana dengan menulis satu hingga dua lembar cerita, membuat catatan harian, hingga berani menyusun buku. Bahkan, Roby melibatkan mahasiswa sebagai penulis kedua dalam salah satu novelnya sebagai bentuk nyata pemberdayaan.
“Saya ajarin gimana cara nulis, cara bikin buku novel, apapun yang penting punya karya. Jadi, karya nanti bisa menghasilkan uang, bisa menghidupi kebutuhan di masa depan,” ujarnya.
Dari Fantasi Lokal hingga Kritik Bangsa
Hingga kini, Roby telah melahirkan empat buku lintas genre. Salah satunya adalah Pedang Api Mahameru, buku yang mengangkat nilai toleransi, solidaritas, dan semangat hidup melalui balutan fantasi yang terinspirasi dari legenda-legenda Nusantara.
Ada juga buku keduanya yakni Kumpulan Cerita Seram di Sekolah, yang hadir dalam genre horor, sementara Luka yang Terlewatkan menyuguhkan kisah romansa yang lebih personal dan emosional.
Namun, karya terbarunya, yang berjudul Negeri Sang Penakluk, menjadi penanda penting dalam perjalanan kepenulisannya. Buku ini bukan sekadar bacaan, melainkan seruan moral dan refleksi kritis tentang arah bangsa.
Lewat sejarah, kritik sosial, dan ajakan perubahan, Roby mengajak pembaca—khususnya generasi Z dan generasi Alfa—untuk kembali berpikir, membaca, dan berani membangun bangsanya sendiri.
“Kita sebagai anak bangsa bisa bikin karya lokal supaya jadi acuan literasi, dan anak muda mau mempelajari budaya Indonesia dari novel,” tegasnya.
Literasi sebagai Pembentuk Karakter Bangsa
Bagi Roby, budaya membaca dan menulis tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga membentuk karakter. Orang yang gemar membaca, menurutnya, memiliki pengetahuan lebih luas, daya pikir kritis yang kuat, serta empati sosial yang lebih tinggi.
“Membaca membuat kita berpikir kritis. Ketika kita berpikir kritis otomatis kita memberikan solusi setiap permasalahan sosial,” katanya.
Ia percaya, kebiasaan literasi harus dimulai dari keluarga, diperkuat oleh sekolah, dan dirawat oleh lingkungan sosial. Tanpa keteladanan dari rumah, sulit berharap anak-anak mencintai buku.
Melalui karya, pengajaran, komunitas, dan kini juga ruang-ruang diskusi seperti podcast, Roby Irzal Maulana terus menyalakan api kecil literasi. Ia sadar jalannya panjang dan sunyi. Namun baginya, selama masih ada satu pembaca dan satu penulis baru yang lahir, perjuangan itu layak diteruskan.
Mari bersama membangun literasi dengan saling menghargai dan menciptakan karya. Temukan dua karya terbaru Roby dalam tautan berikut: Buku Luka yang Terlewatkan & Buku Negeri sang Penakluk.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news detaktribe.com.












