Detak Tribe – Banyaknya penerbit baru yang mulai hadir membuat siapa pun bisa menerbitkan buku sendiri hanya dengan beberapa klik. Namun, di tengah maraknya penerbit baru itu, apakah kita masih membutuhkan jasa penerbit? Pertanyaan ini mungkin terdengar tak masuk akal. Akan tetapi, jika direnungkan secara mendalam, pertanyaan itu cukup relevan di zaman sekarang.
Banyaknya platform self-publishing, media sosial, dan marketplace digital telah mengaburkan batas antara penulis, penerbit, dan penjual. Buku tidak lagi harus melewati meja editor untuk sampai ke tangan pembaca. Penulis dapat menulis, menerbitkan, sekaligus memasarkan karyanya secara mandiri, menciptakan kesan bahwa peran penerbit tidak lagi sepenting sebelumnya.
Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul tantangan baru terkait kualitas, kurasi, dan keberlanjutan distribusi yang tidak selalu bisa ditangani sendiri oleh penulis. Kondisi inilah yang memunculkan pertanyaan, apakah penulis benar-benar tidak lagi membutuhkan jasa penerbit, atau justru peran penerbit sedang bergeser, namun tetap relevan dalam bentuk yang berbeda?
Penerbit Bukan Sekadar Percetakan
Kesalahan paling umum adalah menyamakan penerbit dengan jasa cetak. Padahal, sejatinya penerbit seharusnya terlibat dalam proses terbitnya sebuah buku, yakni membaca, mengkritik, memperbaiki, dan mempertajam gagasan penulis. Di sinilah peran editor, kurator naskah, dan tim produksi menjadi krusial.
Penerbit seperti Detak Pustaka menunjukkan bahwa menerbitkan buku bukan soal memperbanyak halaman cetak, melainkan merawat isi. Proses yang sering kali tidak terlihat pembaca inilah yang membedakan buku yang sekadar terbit dengan buku yang benar-benar hadir sebagai karya.
Antara Pasar dan Tanggung Jawab
Industri buku hari ini sering kali terjebak pada logika pasar. Tema yang laku diulang atau gaya yang viral disalin. Dalam situasi ini, penerbit justru diuji. Apakah mereka hanya mengikuti selera pasar, atau masih berani mempertahankan tanggung jawabnya untuk menjaga gagasan?
Keberadaan penerbit dibutuhkan justru karena pasar tidak selalu adil terhadap gagasan yang penting. Buku-buku kritis, reflektif, atau tidak populer sering kali tersingkir. Di sinilah penerbit ideal berperan sebagai wadah untuk memberi ruang bagi buku yang mungkin tidak ramai, tetapi perlu ada.
Penulis Juga Membutuhkan Masukan
Menulis bukan proses yang selalu benar sejak awal. Penulis membutuhkan saran maupun kritik terhadap karyanya sendiri. Penerbit menyediakan ruang itu. Relasi antara penulis dan penerbit seharusnya bukan relasi transaksional semata, melainkan relasi yang saling menguntungkan.
Tanpa penerbit, penulis berisiko berjalan sendirian—menentukan nilai karyanya sendiri tanpa penilaian yang jujur. Penerbit yang sehat justru membantu penulis tumbuh, bukan sekadar menerbitkan.
Jadi, Apakah Kita Masih Membutuhkan Penerbit?
Jawabannya bukan sekadar ya atau tidak. Tentu saja kita masih membutuhkan penerbit, tetapi bukan sembarang penerbit. Bukan penerbit yang hanya menjual mimpi, bukan pula yang tunduk sepenuhnya pada pasar. Yang dibutuhkan adalah penerbit yang berani bersikap, menjaga kualitas, dan memahami bahwa buku adalah bagian dari tanggung jawab sosial.
Di tengah banyaknya cara dan kemudahan menerbitkan buku, penerbit seperti Detak Pustaka menjadi pengingat bahwa buku bukan hanya soal bisa terbit, tetapi mengapa ia perlu diterbitkan.
Pada akhirnya, keberadaan penerbit tidak diukur dari seberapa cepat sebuah buku terbit, melainkan dari seberapa jauh ia ikut menjaga nilai dan kualitas yang dibawa buku tersebut.
Di tengah kebebasan menerbitkan buku yang semakin luas, penerbit yang berpihak pada gagasan—seperti Detak Pustaka—tak bisa disepelekan, karena mereka adalah bagian penting dari ekosistem literasi yang sehat.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news detaktribe.com.












