News

Banjir di Mojokerto: Sempat Berhenti Selama 20 Tahun Hingga Menjadi Bencana Tahunan

×

Banjir di Mojokerto: Sempat Berhenti Selama 20 Tahun Hingga Menjadi Bencana Tahunan

Sebarkan artikel ini
Banjir di Mojokerto: Sempat Berhenti Selama 20 Tahun Hingga Menjadi Bencana Tahunan
Banjir di Mojokerto: sempat berhenti selama 20 tahun hingga menjadi bencana tahunan. (AFP/Juni KRISWANTO)

Detak Tribe – Memasuki musim hujan, berbagai daerah di Indonesia turut menghadapi tantangan yang sama, yakni banjir. Tantangan ini juga tak terkecuali dihadapi oleh daerah Mojokerto.

Sudah sepekan lebih banjir melanda Mojokerto dan tak kunjung surut. Warga yang terdampak banjir mulai terjangkit sejumlah penyakit, seperti demam, batuk, pilek, gatal-gatal, diare, hingga hipertensi.

Mojokerto sendiri memiliki sejarah banjir yang panjang dan sempat berhenti selama 20 tahun hingga akhirnya menjadi bencana tahunan. Banjir besar di Mojokerto pernah terjadi pada tahun Februari 2004 silam.

Sebanyak 10 kecamatan tercatat tenggelam dikarenakan meluapnya Sungai Sadar dan Pikatan saat hujan berlangsung. Banjir pada tahun 2004 ini disebut sebagai banjir terparah di Mojokerto karena membawa sejumlah material yang hanyut di dalamnya, seperti lumpur dan kayu.

Sementara itu, kondisi geografis Mojokerto yang sangat beragam, mulai dari dataran rendah dan tinggi, sungai, kemudian pegunungan, serta gunung berapi turut mempengaruhi terjadinya banjir.

Kondisi geografis Mojokerto yang beragam tentu memberikan berbagai manfaat, tetapi kondisi ini juga yang menyebabkan terjadinya banjir.

Sebab banjir dapat terjadi karena kondisi topografi yang datar, landai, serta cekung. Selain itu, curah hujan di Mojokerto yang cukup tinggi dan tak merata juga dinilai sebagai penyebab banjir.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Mojokerto mencatat selama tahun 1976 hingga tahun 2017, curah hujan di Mojokerto berkisar pada 1000 hingga 2300 mm setiap tahunnya. Sementara rata-rata jumlah hari hujan mencapai 77 hari.

Jumlah penduduk yang mengalami peningkatan juga membuat lahan dialihfungsikan dan diperuntukan menjadi rumah, wilayah perkantoran, pusat perbelanjaan, pariwisata, serta fasilitas lainnya untuk mendukung dan menunjang kehidupan penduduknya.

Bila hal ini berlanjut tanpa memperhatikan kondisi lingkungan, maka degradasi lahan pun akan terjadi. Hal ini menyebabkan lahan hijau yang terbuka pun semakin berkurang setiap harinya. Lahan hijau yang berkurang dari hari ke hari berdampak kepada rentannya terjadi banjir dan longsor.

Banjir di Mojokerto pada tahun 1976-1978 disebabkan curah hujan yang tinggi. Setelah tahun tersebut, Mojokerto tercatat tak pernah mengalami banjir. Banjir kembali melanda Mojokerto selang 20 tahun setelahnya, yakni pada tahun 2002.

Penyebab utamanya karena penggundulan hutan, drainase yang buruk, dan curah hujan yang tinggi. Usai tahun 2002, Mojokerto dilanda banjir pada tahun 2003 dan 2004, kemudian berhenti selama empat tahun.

Selang empat tahun setelahnya, Mojokerto kembali dilanda banjir pada tahun 2008. Banjir ini terus berulang pada tahun-tahun berikutinya. Deforestasi menjadi penyebab utama dari banjir yang terjadi di Mojokerto.

Hal ini berhubungan erat dengan kebijakan pada masa Orde Baru tentang pengelolaan hutan yang dilakukan negara dan kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah.

Media Radar Mojokerto mencatat bahwa penebangan hutan secara ilegal marak dilakukan selama awal tahun 1990-an hingga akhir tahun 2000-an di Mojokerto.

Hutan yang mengalami kerusakan tak lagi dapat berfungsi secara maksimal untuk mencegah banjir. Kondisi ini turut diperparah dengan perkembangan pembangunan serta tanggul sungai yang tak lagi sanggup menampung debit air ketika curah hujan tinggi.

Berbagai upaya untuk menangani banjir di Mojokerto telah dilakukan, baik secara struktural maupun non-struktural. Namun upaya mitigasi yang dinilai belum maksimal juga turut mempengaruhi banjir yang terus terjadi berulang kali setiap tahunnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news detaktribe.com.