Inspirasi

Monsinyur Albertus Soegijapranata: Perjalanan Hidup dan Akhir Hayatnya sebagai Pahlawan Nasional, Imam, dan Guru

×

Monsinyur Albertus Soegijapranata: Perjalanan Hidup dan Akhir Hayatnya sebagai Pahlawan Nasional, Imam, dan Guru

Sebarkan artikel ini
Monsinyur Albertus Soegijapranata: Perjalanan Hidup dan Akhir Hayatnya sebagai Pahlawan Nasional, Imam, dan Guru
Monsinyur Albertus Soegijapranata: perjalanan hidup dan akhir hayatnya sebagai pahlawan nasional, imam, dan guru. (id.wikipedia.org/Kedaulatan Rakyat)

Detak Tribe – Indonesia memiliki tokoh-tokoh terkenal yang berjuang dalam kemerdekaan bangsa, salah satunya adalah Mgr. Albertus Soegijapranata.

Mgr. Albertus Soegijapranata atau dalam ejaan baru ditulis menjadi Sugiyapranata adalah tokoh Katolik Indonesia yang hidup pada akhir masa penjajahan Belanda, kemudian pada pendudukan Jepang, dan pada awal masa kemerdekaan Indonesia.

Mgr. Albertus Soegijapranata dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang menjadi Uskup Agung di Indonesia. Mgr. Albertus Soegijapranata turut terlibat dalam menyelesaikan Pertempuran Lima Hari serta mendesak pemerintah pusat mengirim utusan untuk menghadapi kerusuhan yang terjadi di Semarang.

Mgr. Albertus Soegijapranata meninggal pada tahun 1963 di Steyl, Belanda. Jenazahnya kemudian diterbangkan kembali ke Indonesia. Mgr. Albertus Soegijapranata dijadikan Pahlawan Nasional serta dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang.

Profil Mgr. Soegijapranata

Mgr. Albertus Soegijapranata lahir di Surakarta pada 25 November 1896. Dirinya lahir dan dibesarkan di dalam keluarga Muslim dan abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta. Keluarga Mgr. Albertus Soegijapranata kemudian pindah ke Yogyakarta.

Saat di Yogyakarta, ayah Mgr. Albertus Soegijapranata menjadi abdi dalem Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Sedari kecil, kecerdasan Mgr. Albertus Soegijapranata sudah nampak. Dia kemudian mengenyam pendidikan di Sekolah Angka Loro yang berada di dalam lingkungan Keraton.

Kecerdasan tersebut kemudian menarik perhatian Pr. Frans van Lith atau yang lebih dikenal dengan Romo Van Lith, yakni seorang Imam Yesuit. Lalu pada tahun 1909, Romo Van Lith mengajak Mgr. Albertus Soegijapranata cilik untuk bergabung di sekolah Yesuit yang berada di Muntilan, yakni Kolese Xaverius yang merupakan sekolah dengan asrama untuk calon guru.

Kolese Xaverius dulunya bernama Kweekschool dan merupakan sekolah Katolik yang didirikan oleh Romo Van Lith. Kweekschool kemudian berubah nama pada tahun 1910, usai yayasan Romasche Catholic (RC) Kweekschool te Moentilan berdiri dan menaungi pada tahun 1906 silam.

Meski statusnya adalah sekolah Katolik, namun Kolese Xaverius tak membatasi murid-muridnya hanya pada yang menganut Katolik. Sebab secara umum sekolah ini dibuka agar orang-orang Indonesia mendapat pendidikan dan sebagai upaya untuk memberantas buta huruf.

Perjalanan Mengenyam Pendidikan

Mgr. Albertus Soegijapranata akhirnya mulai bersekolah di Kolose Xaverius tahun 1909. Di masa mengenyam pendidikan ini, dirinya mulai tertarik dengan ajaran Katolik. Pada 1910, Mgr. Albertus Soegijapranata kemudian meminta untuk dapat mengikuti pelajaran Katolik.

Permintaan ini tak langsung dikabulkan. Pihak sekolah lebih dulu meminta izin kepada orang tua Mgr. Albertus Soegijapranata terkait permintaan anak mereka. Orang tua Mgr. Albertus Soegijapranata menolak dan tak memberi izin.

Meski demikian, Mgr. Albertus Soegijapranata telah bertekad sampai akhirnya dirinya diizinkan oleh pihak sekolah untuk mengenal Katolik. Sejak saat itu, Mgr. Albertus Soegijapranata mulai mendalami ajaran Katolik.

Dirinya kemudian dibaptis dan menjadi pemeluk Katolik pada 24 Desember 1910. Ketika dibaptis inilah Mgr. Albertus Soegijapranata memperoleh nama baptis Albertus.

Pada tahun 1915, Mgr. Albertus Soegijapranata menamatkan pendidikannya di Kolese Xaverius dan akhirnya menjadi seorang guru. Dia mengajar Bahasa Jawa, ilmu pasti, dan agama di Kolese Xaverius Muntilan.

Kemudian pada tahun 1916, Mgr. Albertus Soegijapranata masuk ke Seminari Xaverius, yakni lembaga pendidikan calon imam Katolik Roma dan lulus pada tahun 1919.

Menjadi Imam Katolik

Pada tahun 1916, Mgr. Albertus Soegijapranata dikirim ke Gymnasium, Uden, Belanda karena dirinya ingin menjadi seorang imam Katolik. Saat di sana, dirinya mengikuti kegiatan imamat serta mendalami agama Katolik.

Mgr. Albertus Soegijapranata juga memperoleh pelajaran bahasa Yunani, Latin, dan Filsafat yang berada di bawah asuhan Ordo Salib Suci atau yang dikenal dengan Ordo Sanctae Crucis (OSC).

Sejak saat itu, perjalanan Mgr. Albertus Soegijapranata terus berlanjut hingga dirinya memperdalam ilmu Teologi di Maastricht, Limburg, Belanda. Kemudian tahun 1931 di Maastricht, Mgr. Albertus Soegijapranata memperoleh Sakramen Imamat dari Uskup Roermond.

Mgr. Albertus Soegijapranata lalu menambah kata “Pranata” di dalam namanya, sehingga yang semula Albertus Soegija menjadi Albertus Soegijapranata. Usai dua tahun dirinya ditahbis, Mgr. Albertus Soegijapranata memutuskan kembali ke Indonesia.

Dia kemudian ditugaskan menjadi Pastor Pembantu di Bintaran dan setelahnya diangkat menjadi Pastor Paroki. Lalu pada tahun 1940, Kardinal Giovanni Battista Montini mengangkat Mgr. Albertus Soegijapranata menjadi pemimpin Vikarat Apostolik melalui telegram.

Vikarat Apostolik merupakan otoritas kawasan di dalam Gereja Katolik Roma yang dibentuk di wilayah yang belum memiliki keuskupannya. Pada waktu itu, Vikarat Apostolik hanya ada satu, yakni di Batavia serta dipimpin oleh Mgr. Petrus Wilekens.

Pertumbuhan pemeluk Katolik di Hindia Belanda yang meningkat membuat Mgr. Petrus Wilenkes akhirnya mengusulkan pembentukan Vikarat Apostolik yang baru. Di dalam telegram itu juga Mgr. Albertus Soegijapranata kemudian ditunjuk menjadi Uskup Tituler Danaba.

Kemudian pada 30 September 1940, Mgr. Albertus Soegijapranata berangkat ke Semarang. Dia dikuduskan oleh Mgr. Petrus Wilekens pada 6 Oktober 1940 bertempat di Gereja Rosario Suci Randusari. Dengan ditahbiskannya Mgr. Albertus Soegijapranata, maka dirinya pun resmi menjadi uskup dengan orang Indonesia pertama.

Diplomasi Mgr. Soegijapranata untuk Kemerdekaan RI

Perjuangan Indonesia tak serta merta usai setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada 17 Agustus 1945. Perjuangan selanjutnya adalah memperoleh pengakuan kemerdekaan dari negara-negara di dunia.

Pada waktu itu, Belanda diketahui kembali menyerang Indonesia walau kemerdekaan Indonesia telah diproklamirkan oleh Ir. Soekarno. Pihak Belanda menyerang berbagai wilayah Indonesia, termasuk Surabaya, Bandung, Semarang, Ambarawa, Medan, sampai ke Jakarta.

Upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia turut dilakukan oleh Mgr. Albertus Soegijapranata. Dia berperan besar dalam hal ini karena berupaya mendapatkan pengakuan proklamasi kemerdekaan Indonesia dari negara lain.

Semasa perang, Mgr. Albertus Soegijapranata diketahui kerap menulis kegelisahannya terhadap berbagai peristiwa perang yang terjadi di Indonesia. Respon positif diperoleh dari tulisan-tulisan serta gagasannya dalam sesi wawancara yang dilakukan bersama media dalam dan luar negeri.

Selain itu, Mgr. Albertus Soegijapranata juga kerap mengirimkan diplomasinya ke Paus di Vatikan. Sehingga pada saat itu Vatikan menjadi entitas politik pertama di Eropa yang mengakui Indonesia sebagai negara yang merdeka.

Diplomasi yang dilakukan Mgr. Albertus Soegijapranata pada 18 Januari 1947 tersebut menyampaikan kekejaman tentara Belanda di Indonesia setelah kemerdekaan. Vatikan kemudian memberi pengakuan kemerdekaan Indonesia pada 6 Juli 1947. Melalui Vatikan, umat Katolik di berbagai belahan dunia turut melakukan hal yang sama. Hal ini kemudian juga berdampak ke masyarakat secara internasional.

Akhir Hidup Mgr. Soegijapranata

Mgr. Albertus Soegijapranata diangkat menjadi Uskup Agung di Semarang pada tanggal 3 Januari 1961. Saat itu, dirinya sedang berada di Eropa untuk Konsili Vatikan II. Mgr. Albertus Soegijapranata hadir di sesi pertama Konsili dan menunjukkan kegelisahannya terhadap keadaan kepastoran dan memohon sistem gereja dimordenisasi.

Setelahnya Mgr. Albertus Soegijapranata kembali ke Indonesia dengan kondisi kesehatan yang menurun. Mgr. Albertus Soegijapranata akhirnya menjalani perawatan di Rumah Sakit Elisabeth Candi tahun 1963 dan dilarang untuk melakukan tugasnya.

Mgr. Albertus Soegijapranata meninggal pada tanggal 22 Juli 1963 karena serangan jantung di Belanda. Saat itu dirinya tengah menghadiri pemilihan Paus Paulus VI.

Mengetahui kabar tersebut, Ir. Soekarno tak ingin Mgr. Albertus Soegijapranata dimakamkan di Belanda, sehingga jenazah Mgr. Albertus Soegijapranata akhirnya diterbangkan kembali ke Indonesia. Mgr. Albertus Soegijapranata kemudian dimakamkan pada tanggal 30 Juli 1963 di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang.

Atas jasa dan upayanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, Mgr. Albertus Soegijapranata dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 26 Juli 1963 melalui Keputusan Presiden Nomor 152/1963.

Pada 7 Juni 2012, film Soegija diluncurkan di bioskop Indonesia. Film yang disutradarai oleh Garin Nugroho ini mengangkat ketokohan Mgr. Albertus Soegijapranata selama masa perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1940-1949.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news detaktribe.com.