Detak Tribe – Banyak penulis perempuan berbakat di Indonesia yang telah menerbitkan karya luar biasa. Tak jarang penulis-penulis perempuan turut mengangkat isu patriarki serta kesetaraan dan keadilan gender.
Bahkan tak sedikit yang karyanya diangkat ke media film serta memenangkan berbagai penghargaan bergengsi di dalam maupun luar negeri. Karya-karya tersebut menembus lintas generasi dan membuatnya relevan untuk terus dibaca hingga hari ini.
Artikel kali ini membahas 10 penulis perempuan Indonesia inspiratif yang karyanya wajib untuk kita baca.
1. Ayu Utami
Ayu Utami bernama lengkap Justina Ayu Utami. Novelis yang lahir di Bogor pada 21 November 1968 ini merupakan lulusan Sastra Rusia di Universitas Indonesia. Ayu menyukai cerita-cerita petualangan, seperti Lima Sekawan, Tin Tin, dan Karl May.
Namanya semakin dikenal lewat karyanya yang berjudul Saman. Saman turut memenangkan sayembara penulisan roman dari Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998.
Selang tiga tahun setelahnya, Saman berhasil terjual sebanyak 55 ribu eksemplar. Karya tersebut kemudian menerima penghargaan Prince Clause Award 2000 dari yayasan yang terletak di Den Haag, Belanda.
Karya lain dari Ayu Utami yang dapat dibaca adalah Larung (2001), Bilangan Fu (2008), dan Soegija: 100% Indonesia (2012).
2. Dee Lestari
Dewi Lestari Simangungsong adalah penulis dan penyanyi yang lahir di Bandung pada 20 Januari 1976. Dee pertama kali dikenal publik karena merupakan salah satu personel dari trio vokal Rida Sita Dewi.
Dirinya dikenal sebagai novelis karena karyanya yang berjudul Supernova 1: Kesatrai, Putri, & Bintang Jatuh (2001) yang terjual sebanyak 12.000 eksemplar hanya dalam waktu 35 hari.
Supernova juga masuk ke dalam nominasi Khatulistiwa Literary Award dan diterbitkan dalam Bahasa Inggris pada Maret 2002.
Kisah Supernova terus berlanjut hingga bagian keenam dan berakhir tahun 2016. Karya-karya Dee Lestari yang tak kalah populer adalah Filosofi Kopi (2006), Rectoverso (2008), Perahu Kertas (2009), Madre (2011), Aroma Karsa (2018), dan tiga seri dari Rapijali (2021).
Berbagai karya Dee Lestari yang sukses diangkat menjadi film adalah Perahu Kertas (2012), Rectoverso (2013), Madre (2013), dan Filosofi Kopi (2015).
3. Dian Purnomo
Lahir dengan nama Dian Yuliasri di Salatiga pada 19 Juli 1976. Dian mulai menulis ketika duduk di bangku SMA. Dian mendalami kriminologi dan bergelut dalam isu-isu perempuan dan perlindungan anak.
Mulai dari perempuan dan anak yang dipenjarakan ketika berada di Puska PA dan Kriminologi UI, kemudian kekerasan berbasis gender saat di Rutgers WPF Indonesia, lalu kesehatan seksual reproduksi dan lingkungan di OnTrack Media Indoensia, disabilitas dan anak-anak yang berada di panti asuhan saat di Save the Children, serta isu lain seperti pneumonia pada anak dan migrasi aman.
Bergelut dengan isu-isu tersebut turut mempengaruhi karya Dian Purnomo. Novelnya yang berjudul Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam (2021) mengangkat salah satu adat yappa mawine atau kawin tangkap di Sumba.
Karya yang terinspirasi dari kisah nyata ini Dian tulis usai memperoleh grant Residensi Penulis Indonesia tahun 2019 di Sumba.
Karya Dian yang juga menarik untuk dibaca adalah Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut (2023). Novel tersebut mengangkat perjuangan perempuan di Kepulauan Sangihe yang terletak di antara Pulau Mindanao dan Pulau Sulawesi dalam mempertahankan ruang hidup mereka dari kehadiran tambang emas.
Dian kini aktif di kelas Nulis di Taman, yakni kelas menulis di ruang terbuka yang bayarannya berupa satu koin kebaikan untuk alam.
4. Djenar Maesa Ayu
Lahir di Jakarta pada 14 Januari 1973, Djenar Maesa Ayu dikenal sebagai penulis, produser, sutradara, serta pemeran. Ciri khas dari tulisan karya Djenar Maesa Ayu adalah mengangkat isu perempuan dan seksualitas.
Cerpen pertamanya “Lintah” (2002) yang mengangkat tema feminisme diterbitkan oleh Kompas. Sementara buku pertamanya Mereka Bilang, Saya Monyet! (2004) telah dicetak ulang sebanyak delapan kali dan masuk ke dalam sepuluh buku terbaik versi Khatulistiwa Literary Award 2003 dan telah diterbitkan dalam Bahasa Inggris.
Karya lainnya berjudul Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) (2004) juga memperoleh penghargaan lima besar di Khatulistiwa Literary Award 2004.
Cerpennya yang berjudul “Menyusu Ayah” menjadi Cerpen Terbaik 2003 di Jurnal Perempuan dan telah diterjemahkan Richard Oh dengan judul “Suckling Father”.
Djenar Maesa Ayu juga menerima penghargaan Piala Citra sebagai Sutradara Terbaik dalam film Mereka Bilang, Saya Monyet! pada tahun 2009.
5. Intan Paramaditha
Lahir pada 15 November 1979 di Bandung, Intan Paramitha aktif sebagai penulis serta akademisi. Ia memperoleh gelar doktor di New York University tahun 2014.
Karyanya berfokus kepada gender, seksualitas, budaya, serta politik.
Karya yang membuat namanya kian dikenal adalah Sihir Perempuan (2005) yang masuk ke dalam lima besar dalam Khatulistiwa Literary Award 2005. Intan Paramitha juga memperoleh penghargaan sebagai Cerpenis Terbaik Kompas 2013.
Novelnya yang berjudul Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu (2017) menerima penghargaan sebagai Prosa Terbaik Tempo 2017. Karya ini juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan mendapat penghargaan PEN Translates Award 2018.
Hingga saat ini, Intan Paramitha terus menulis serta melanjutkan karier akademiknya dengan mengajar Kajian Media dan Film di Macquarie University, Sydney, Australia.
6. Laksmi Pamuntjak
Laksmi Widorini Pamuntjak lahir pada 22 Desember 1971 di Jakarta. Sosoknya dikenal sebagai penulis serta kritikus kuliner. Karier menulisnya dimulai pada 1994 dengan menulis untuk majalah Tempo dan jurnal Prisma.
Selain itu, Laksmi juga membuat resensi buku, film, musik klasik, serta restoran untuk The Jakarta Post. Laksmi juga mewakili Indonesia dalam Poetry Parnassus, yakni festival puisi bersejarah di Southbank Centre, London pada tahun 2012.
Di tahun yang sama, Laksmi menerbitkan novel pertamanya yang berjudul Amba. Karya tersebut masuk ke dalam lima besar dalam Kusala Sastra Indonesia tahun 2013 dan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Jerman, dan Belanda. Amba juga memenangkan penghargaan sastra Jerman LiBeraturpreis tahun 2016.
Sementara novel keduanya yang berjudul Aruna dan Lidahnya (2014) juga masuk ke dalam Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2015 dan telah diangkat menjadi film dengan judul yang sama pada tahun 2018.
Film ini mendapat sembilan nominasi di Festival Film Indonesia tahun 2018 dan berhasil memenangkan dua nominasi, yakni Penulis Skenario Adaptasi Terbaik serta Pemeran Pendukung Pria Terbaik.
Film Aruna & Lidahnya juga meraih Sinematografi Terbaik di Festival Film Asia Jogja-NETPAC ke-13. Selain menulis, Laksmi juga seorang ko-kurator pada tahun 2014 dan 2022. Dia juga merupakan salah satu anggota juri internasional di Prince Clause Award antara tahun 2009 dan 2011.
7. Leila S Chudori
Leila Salikha Chudori adalah penulis dan kritikus film yang lahir pada 12 Desember 1962 di Jakarta. Leila merupakan sastrawan yang telah berkarya sejak kecil. Karya pertamanya dimuat di majalah Si Kuncung ketika berumur 12 tahun.
Karya-karya Leila terpengaruh dari tulisan-tulisan Franz Kafka, Fyodor Dostoyevsky, D. H. Lawrence, hingga James Joyce. Sehingga tak mengherankan bila tokoh-tokoh dalam karya Leila memiliki kesadaran yang dalam serta hasrat jiwa yang besar untuk menjadi manusia merdeka.
Leila juga bekerja sebagai wartawati di Tempo sejak 1989 dan berkesempatan untuk mewawancarai sejumlah tokoh ternama. Mulai dari H. B. Jassin, Bill Morrison, Paul Wolfowitz, Cory Aquino, Yasser Arafat, Robert Mugabe, hingga Nelson Mandela.
Leila juga menjadi salah satu dari 11 perempuan Indonesia yang berkesempatan untuk makan siang bersama dengan Lady Diana.
Laut Bercerita (2017) merupakan salah satu karya Leila yang populer dan banyak diminati oleh pembaca karena menjadi salah satu media untuk mempelajari sejarah Indonesia.
Karya-karya Leila lainnya yang dapat dibaca adalah Kelopak-kelopak yang Berguguran (1984), Malam Terakhir (diterbitkan kembali pada 2009), 9 dari Nadira (2009), Pulang (2012), serta karya terbarunya yang berjudul Namaku Alam (2023).
8. N. H. Dini
Nurhayati Sri Hardini adalah sastrawan, novelis, dan feminis yang lahir pada 29 Februari 1936 di Semarang. N. H. Dini mulai menulis ketika duduk di kelas 3 SD.
Kemampuannya dalam menulis cerita fiksi kian terasah ketika duduk di sekolah menengah.
Pada waktu itu, sajak-sajak dan cerita pendek N. H. Dini terpampang di mading atau majalah dinding sekolah. Ketika menginjak usia 15 tahun, N. H. Dini telah menulis sajak serta prosa berirama yang akhirnya ia bacakan di RRI Semarang.
H. Dini rajin mengirimkan tulisannya ke siaran nasional RRI Semarang dalam program Tunas Mekar. Selain itu, N. H. Dini juga menulis untuk majalah SIASAT dan KISAH.
Cerpen pertamanya yang berjudul “Pendurhaka” menerima respon positif dari H. B. Jassin pada 1951. Karya N. H. Dini juga dianggap mampu menerjemahkan ide feminisme oleh A. Teeuw, yakni pakar sastra serta budaya Indonesia yang berasal dari Belanda.
Sejumlah penghargaan juga diraih N. H. Dini. Mulai dari Hadiah Seni untuk Sastra (1989), Bhakti Upapradana Bidang Sastra (1991), SEA Write Award (2003) dalam bidang sastra dari Pemerintah Thailand, hingga Lifetime Achievement Award (2017) dari Ubud Writers and Readers Festival.
N. H. Dini meninggal dunia di usia 82 tahun pada 4 Desember 2018. Penyebab berpulangnya N. H. Dini karena kecelakaan lalin ketika berada di jalan tol Tembalang, Semarang. Jenazahnya kemudian dikremasi pada 5 Desember 2018 di Ambarawa.
9. Okky Madasari
Sastrawan yang lahir di Magetan, Jawa Timur pada 30 Oktober 1984 ini dikenal karena kepiawaiannya dalam menggambarkan kondisi sosial politik Indonesia. fokus tulisan Okky Madasari adalah perlawanan akan ketidakadilan serta perjuanagan untuk kebebasan dan kemanusiaan.
Novel pertamanya yang berjudul Entrok (2010) menceritakan kehidupan pada masa Orde Baru dan telah diterjemahkan ke Bahasa Inggris dengan judul The Years of the Voiceless (2013).
Karyanya berjudul Maryam (2012) meraih penghargaain Kusala Sastra Khatulistiwa 2012. Okky Madasari meraih penghargaan tersebut ketika dirinya berusia 28 tahun sehiingga dirinya juga menjadi pemenang termuda dalam sejarah penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa berlangsung.
Selain menulis, Okky Madasari juga menjadi pembicara, mengelola media, dan lokakarya kepenulisan. Tahun 2024 ini Okky Madasari juga dinyatakan meraih gelar PhD dari National University of Singapore. Dirinya juga memperoleh beasiswa penuh selama menempuh pendidikan di universitas tersebut.
10. Ratih Kumala
Penulis yang lahir di Jakarta tanggal 4 Juni 1980 ini merupakan istri dari Eka Kurniawan, salah satu novelis ternama Indonesia. Novel pertama yang mengawali kariernya sebagai penulis berjudul Tabula Rasa (2004) meraih penghargaan sebagai Pemenang Ketiga dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta pada tahun yang sama.
Nama Ratih Kumala kian melejit setelah serial Gadis Kretek tayang di Netflix pada 2023 lalu. Serial tersebut diangkat dari novel karya Ratih Kumala dengan judul yang sama dan terbit tahun 2012.
Selain Tabula Rasa (2004) dan Gadis Kretek (2012) buku lain yang telah diterbitkan Ratih Kumala adalah Genesis (2005), Larutan Senja (2006), Kronik Betawi (2009), Bastian dan Jamur (2015), serta Wesel Pos (2019).
Selain menjadi seorang penulis, Ratih Kumala juga penulis skenario. Dia pernah menjadi anggota dalam tim penulisan program Jalan Sesama yang merupakan adaptasi dari Sesame Street.
Hingga kini, Ratih Kumala telah menulis tujuh karya fiksi, kemudian tiga naskah film, serta ratusan judul drama televisi.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news detaktribe.com.