Detak Tribe – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan pemerintah memberikan layanan pendidikan dasar gratis, baik di sekolah negeri maupun swasta, menuai reaksi serius dari sejumlah kepala daerah.
Kewajiban tersebut dianggap menimbulkan tekanan baru terhadap struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), terutama bagi daerah dengan kemampuan fiskal terbatas.
Melalui putusan nomor 53/PUU-XXI/2023, MK menegaskan bahwa Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan negara untuk membiayai seluruh pendidikan dasar.
Dalam pertimbangannya, MK menyebutkan bahwa tidak ada pembedaan tanggung jawab negara antara sekolah negeri dan swasta selama berada di jenjang pendidikan dasar.
Hakim Konstitusi Guntur Hamzah, sebagaimana melansir Kompas.com, menyatakan bahwa, alokasi 20% dari APBN dan APBD untuk sektor pendidikan harus benar-benar diarahkan untuk menjamin akses dan mutu pendidikan dasar secara gratis bagi seluruh warga negara, termasuk mereka yang bersekolah di lembaga swasta.
Namun, realisasi dari putusan tersebut menimbulkan kekhawatiran. Pemerintah daerah kini dihadapkan pada fakta bahwa banyak sekolah swasta menetapkan biaya operasional yang jauh lebih tinggi dibanding standar layanan minimal pendidikan yang diatur pemerintah.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Bappenas, Amich Alhumami, menyampaikan bahwa biaya pendidikan di sekolah swasta bisa mencapai Rp200 juta per siswa per tahun.
Padahal, standar pelayanan minimal yang berlaku hanya sebesar Rp24,9 juta per siswa per tahun. “Ini kesenjangan yang sangat tinggi,” ujarnya seperti dikutip dari Kompas.com.
Sejumlah kepala daerah pun mengaku belum siap mengakomodasi beban tambahan ini. Minimnya dana transfer dari pusat menjadi hambatan utama.
Maka, untuk menyesuaikan dengan putusan MK, beberapa daerah mulai menjajaki kerja sama dengan sekolah swasta melalui skema subsidi terbatas. Namun skema ini masih dalam tahap kajian dan belum menjangkau semua sekolah.
Pakar kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Hendrawan Purnomo, menilai bahwa meskipun putusan MK mengedepankan prinsip keadilan akses pendidikan, namun harus diimbangi dengan peta jalan yang realistis.
Dengan situasi ini, pemerintah pusat dituntut untuk tidak hanya melempar tanggung jawab, tetapi juga menyediakan kerangka regulasi dan pendanaan yang memadai. Jika tidak, putusan MK berisiko menjadi visi ideal yang sulit dijalankan di tingkat lokal.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news detaktribe.com.