Budaya

Mengapa “Marriage is Scary” Menjadi Tren di Kalangan Anak Muda?

×

Mengapa “Marriage is Scary” Menjadi Tren di Kalangan Anak Muda?

Sebarkan artikel ini
Mengapa "Marriage is Scary" Menjadi Tren di Kalangan Anak Muda?
Kemunculan tren "Marriage is Scary" di kalangan anak muda telah mengubah pandangan akan nilai mengenai pernikahan. (Sumber: Halodoc.)

Detak Tribe – “MARRIAGE IS SCARRY” merupakan istilah yang belakangan ini kerap kali muncul di berbagai platform media sosial. Dalam bahasa Indonesia istilah “Marriage is scarry” memiliki arti “pernikahan itu menakutkan.” Istilah ini merujuk pada ketakutan dan kecemasan seseorang pada sebuah pernikahan.

Tren ketakutan akan pernikahan ini muncul karena banyaknya cerita tentang permasalahan rumah tangga yang tersebar di media sosial. Hal ini diperparah dengan adanya beberapa selebriti dan influencer yang mengalami konflik keluarga seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perselingkuhan, dan berbagai konflik lainnya.

Tren ini menimbulkan banyaknya anak muda yang menunda pernikahan atau bahkan memilih untuk tidak menikah seumur hidup. Fenomena ini dibuktikan dengan data angka pernikahan di Indonesia yang kian menurun. Data dari BPS menyebutkan pada 2023 jumlah pernikahan di Indonesia sebanyak 1.577.255. Angka ini ternyata menurun sebanyak 128.000 jika dibandingkan dengan tahun 2022. Sementara jika dalam satu dekade terakhir angka pernikahan di Indonesia menurun sebanyak 28,63 persen.

Lalu, apakah ketakutan dalam pernikahan merupakan hal yang baru mucul sekarang? Apakah wajar jika kita memiliki rasa takut akan sebuah pernikahan?

Melansir dari laman Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA),menurut psikologi, ternyata, ketakutan atau kekhawatiran saat menjelang pernikahan merupakan hal yang wajar.

Pakar psikologi, Ghozali Rusyid Affandi, S.Psi., M.A. mengemukakan ada 6 alasan seseorang memiliki ketakutan akan pernikahan.

1. Ketakutan akan kegagalan menikah.

Ketakutan akan kegagalan pernikahan dapat timbul dari trauma masa lalu atau pengalaman orang terdekat. Contohnya ketika seseorang melihat orang tuanya bercerai, hal itu akan semakin memperkuat ketakutannya untuk menikah. Di sisi lain, lingkungan sekitar dan media sosial juga bisa memengaruhi cara pikir seseorang tentang pernikahan.

2. Ketidakpastian tentang masa depan.

Seseorang yang menganggap dirinya tidak memiliki masa depan yang cerah cenderung akan merasa takut untuk menikah. Banyak contoh unggahan di media sosial yang menggambarkan betapa rumitnya sebuah pernikahan. Hal itu semakin menjadi problematika seseorang ketika akan menikah dan memunculkan pikiran buruk.

Menurut Ghozali, seharusnya media sosial dan lingkungan mengimbangi fenomena tersebut. Jadi, tidak hanya menggambarkan sisi buruk pernikahan, tapi juga menampilkan hal yang positif. Hal tersebut tentu akan sangat berpengaruh kepada orang yang melihatnya.

3. Tekanan untuk memenuhi harapan sosial.

Harapan sosial berkaitan dengan harapan-harapan keluarganya. Ketika menikah, seseorang seringkali mendapat tuntutan untuk segera memiliki anak, memiliki rumah sendiri, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu lainnya.

4. Ketakutan akan kehilangan kebebasan.

Dosen lulusan magister sains psikologi UGM  itu melanjutkan, “Bagi seseorang yang menginginkan kebebasan menganggap sebuah pernikahan itu sebagai ancaman yang serius. Ia merasa terancam ketika ia memiliki pasangan yang mengikatnya,”. Hal itu, lanjutnya, bisa menjadi suatu tekanan akan adanya kebebasan individu untuk memilih untuk tidak menikah, atau memiliki pasangan tanpa menikah, bahkan memilih lajang seumur hidup.
Mereka takut tak bisa berhubungan dengan orang lain, rasa cemas pada komitmen jangka panjang, dan ketidakpastian finansial.

5. Takut akan perubahan kehidupan.

Perubahan pola kehidupan tentu akan banyak terjadi setelah menikah. Misalnya, seseorang yang sebelumnya menjalankan aktivitas sehari-hari sendirian, kemudian dia harus berpasangan hingga mengasuh anak. Mereka cemas akan sesuatu yang berdampak jangka panjang di hidupnya.

6. Berdalih belum siap

Ada banyak orang yang terus menunda pernikahan sampai benar-benar siap, padahal tidak ada seseorang pun yang dapat sepenuhnya siap untuk menikah. Berapapun umurnya mereka akan tetap mengalami kecemasan tentang pernikahan.

Walaupun tren “Marriage is scary” merefleksikan adanya kekhawatiran yang valid, perlu juga kita untuk melihatnya dari sudut pandang yang lain. Adanya edukasi dan penyuluhan mengenai cara membangun pernikahan yang sehat dapat membantu untuk meminimalisir ketakutan ini.

Pernikahan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, tapi juga tidak boleh dianggap sepele. Penting bagi anak muda untuk memiliki pengetahuan dan pandangan yang jelas tentang hak, kewajiban, visi, dan misi dalam pernikahan. Dengan demikian, pernikahan akan menjadi salah satu jalan hidup yang baik, bukan untuk ditakuti.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news detaktribe.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *