Detak Tribe – 17 Agustus 1945 tercatat menjadi salah satu babak terpenting dalam perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Hal ini tidak terlepas dari perjuangan para pendahulu kita dalam meraih kemerdekaan Indonesia.
Di masa sekarang, masyarakat Indonesia senantiasa melakukan peringatan juga berbagai perlombaan untuk merayakan hal tersebut. Salah satu hal yang selalu kita nanti adalah kumpulan video yang menampilkan keseruan maupun hiburan yang terjadi di berbagai daerah Indonesia ketika perayaan 17 Agustus berlangsung.
Kali ini, Detak Tribe menyuguhkan salah satu kisah perjalanan hidup Mbah Wiryo, seorang petani di Yogyakarta yang menjadi saksi sejarah ketika Indonesia masih berada di bawah masa penjajahan.
Mbah Wiryo: Petani Bersahaja Sekaligus Warga Tertua di Padukuhan Tambakbayan, Yogyakarta
Siang itu (15/08/2024) Jogja tetap terik seperti biasa. Saya menuju Tambakbayan pukul setengah dua siang untuk bertemu dengan Mbah Wiryo. Ketika sampai dan berjalan di pelataran rumahnya, saya samar-samar melihat senyum Mbah Wiryo.
“Kulo nuwun, Mbah,” ujar saya, “Monggo pinarak,” balas Mbah Wiryo. Sembari duduk, Mbah Wiryo mendengarkan maksud kedatangan saya, “Ya silahkan kalau mau ngobrol, tapi simbah ini umurnya sudah tua. Jadi mungkin ada yang terlupa,” setelah mendengar persetujuan tersebut, saya akhirnya memulai obrolan dengan Mbah Wiryo.
Mbah Wiryo kini telah berusia 102 tahun. Saya terkejut ketika mendengar hal tersebut, hal ini lantaran fisik Mbah Wiryo yang terhitung masih bugar untuk sepuh seperti dirinya.
Hal ini saya bandingkan dengan nenek saya yang baru saja menginjak usia 78 tahun. Sepintas, tampilan fisik nenek saya nampak lebih tua bila dibandingkan dengan Mbah Wiryo.
Mbah Wiryo adalah satu-satunya warga di Padukuhan Tambakbayan yang dapat menceritakan pengalamannya ketika hidup di masa penjajahan. Sebab teman-teman sepantaran beliau telah tutup usia.
Dulu, semasa penjajahan Belanda, seluruh warga Padukuhan Tambakbayan atau dapat dikatakan warga Babarsari, diminta mengosongkan daerah tersebut. Mereka kemudian dipindahkan ke daerah Kentungan, Kaliurang. Setelah Jepang menduduki Indonesia, warga Babarsari kemudian memutuskan untuk kembali.
Kala itu, daerah tempat mereka tinggal telah menjadi hutan belantara. Warga akhirnya memutuskan untuk melakukan babad alas agar dapat kembali tinggal dan menempati Padukuhan Tambakbayan.
Sistem hidup dan pertanahan pada masa itu tentu tidak seperti sekarang, siapa yang ingin menempati, maka tinggal dan kelolalah tanah tersebut. Hal ini tak terkecuali dilakukan oleh keluarga Mbah Wiryo.
Pada saat itu Mbah Wiryo mengelola lahan di belakang Hotel Sahid, Babarsari, menjadi lahan pertanian untuk menghidupi keluarganya. Keluarga Mbah Wiryo waktu itu terdiri dari enam anak dan seorang istri. Kini, Mbah Wiryo terhitung memiliki 17 orang cucu, sementara sang istri diketahui telah meninggal dunia antara tahun 2010 atau 2011 yang lalu.
Kala itu Mbah Wiryo menanami lahannya dengan tanaman palawija. Tanaman palawija merupakan istilah yang beredar di kalangan petani Pulau Jawa yang berarti menanam tanaman pertanian selain padi. Jenis tanaman palawija adalah singkong, jagung, kentang, timun, wortel, dan sebagainya.
Kini, lahan Mbah Wiryo terletak di belakang Apartment Malioboro City. Lahan tersebut diisi dengan kolam ikan bawal oleh Mbah Wiryo. Setiap hari Mbah Wiryo selalu menuju lahannya untuk memberi makan ikan dengan berjalan kaki. Di hari-hari tertentu beliau bahkan merumput dengan alasan menjaga kesehatan dirinya. Selain kegiatan di lahan, Mbah Wiryo juga rutin memberi makan ayam peliharaannya.
Memaknai Kemerdekaan dengan Sederhana
Ketika Belanda menduduki Indonesia, Mbah Wiryo bercerita bahwa dirinya membuat lubang tempat persembunyian ketika perang berlangsung. Kala itu setiap keluarga memiliki lubang tersebut dan dapat diisi hingga empat sampai lima anggota keluarga.
Dalam kenangan Mbah Wiryo, mereka sekeluarga akan segera menuju lubang persembunyian setelah mendengar tanda yang diberikan oleh warga. Mereka juga akan bersembunyi hingga situasi dinilai aman.
Cara jitu untuk mengetahui hal tersebut adalah dengan tidak lagi terdengar suara pesawat tempur yang bolak-balik di udara serta suara kentongan yang dibunyikan sebagai tanda berakhirnya perang.
Suara kentongan pertama akan dilanjutkan dengan suara kentongan selanjutnya. Hal ini ditujukan agar warga tahu bahwa setiap keluarga di Padukuhan Tambakbayan selamat. Sebab waktu itu Tambakbayan hanya terdiri dari 30 kepala keluarga.
Mbah Wiryo juga bercerita sering berpapasan dengan tentara-tentara Jepang ketika dirinya berada di sawah. Mbah Wiryo tidak merasa takut ketika hal ini terjadi. Sebab kala itu tentara Jepang diketahui kerap masuk dan lewat di daerah perkampungan.
Di usia senjanya, Mbah Wiryo kembali mengingat kenangan ketika pertama kali mendengar pengumuman kemerdekaan Indonesia, “Kemerdekaan itu biasa saja. Orang-orang lain juga waktu itu merasakan hal yang sama dengan saya. Setelah dengar pengumuman, kami kembali bekerja agar keluarga tetap makan.”
Jawaban jujur Mbah Wiryo justru membekas di benak dan hati saya. Mengingatkan saya pada catatan sejarah ketika Bung Karno ditetapkan menjadi presiden pertama Republik Indonesia, sehari setelah kemerdekaan dikumandangkan.
Kala itu, Bung Karno tengah dalam perjalanan pulang menuju rumahnya dengan berjalan kaki. Tidak ada mobil khusus presiden yang mengangkut dirinya. Dia kemudian berhenti sejenak dan memesan sate sebanyak 50 tusuk. Sate tersebut Bung Karno habiskan seorang diri sembari berjongkok di dekat parit.
Tak ada perayaan khusus yang dilakukan, tetapi justru menunjukkan laku sederhana yang tak dimiliki semua orang. Tentu hal ini jadi refleksi bersama ketika menyikapi perayaan kemerdekaan yang menghabiskan biaya sebesar Rp 87 Miliar. Mengingatkan kita untuk merayakan kemerdekaan dengan sewajarnya.
Legowo: Laku Sakti yang Jadi Kunci Umur Panjang Mbah Wiryo
Dalam masyarakat Jawa, istilah legowo sudah sering didengar, tetapi untuk benar-benar melakukannya dalam kehidupan sehari-hari tentu tidak semudah mengucap kata tersebut.
Legowo berasal dari kata “Lego” yang berarti lega dan “Gowo” yang berarti membawa. Sehingga legowo dapat diartikan dengan menerima secara ikhlas dan sabar ketika masalah tengah menghampiri kehidupan.
Legowo merupakan cerminan kondisi fisik, jiwa, serta hati manusia agar tetap tenang, santai, serta dengan hati yang lapang dalam menghadapi berbagai hal yang tengah terjadi pada hidupnya.
Bagi Mbah Wiryo, selama hidup hal yang dapat kita lakukan sebagai manusia adalah berusaha dan memohon kepada-Nya. Beliau berkata bahwa tidak perlu memaksakan diri untuk memiliki segala hal yang tidak dimiliki.
Mbah Wiryo juga berujar bahwa perjalanan hidup kita sebagai manusia sudah ada yang menentukan, termasuk akan seperti apa kita nanti ketika menutup usia. Laku hidup yang Mbah Wiryo jalani membuat dirinya tak pernah mengalami sakit fisik yang berarti. Sebab selama hidup Mbah Wiryo mengaku belum pernah masuk dan menjalani perawatan di rumah sakit.
Di akhir obrolan kami, Mbah Wiryo berpesan untuk generasi muda agar menjalani hidup dengan gembira. Kita harus bekerja dengan tekun dan serius, namun menjaga kondisi hati tetap tenang. Hal ini ditujukan agar segala sesuatu tidak dikerjakan dengan terburu-buru dan nirmakna, “Rasah kemrungsung,” tutup Mbah Wiryo sebelum pamit sejenak untuk menunaikan Sholat Ashar.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news detaktribe.com.